Perkembangan syahwat bagi lelaki dan wanita
SETIAP manusia dianugerahkan Tuhan naluri dan nafsu syahwat yang tercetus sejak peringkat janin di dalam rahim ibu lagi. Ia kemudian berkembang dan semakin mantap di peringkat baligh remaja, dewasa dan kekal ke akhir hayat.
Bayi di dalam perut ibu mendapat pemantapan sistem syahwat melalui hormon syahwat yang dikeluarkan oleh ibu. Hormon ibu mempengaruhi pembentukan anggota syahwat dan sistem urat saraf berkenaan.
Proses orientasi seks pula bermula dengan fasa ‘oral’ atau mulut dan bayi mendapat keselesaan serta ketenangan melalui rangsangan bahagian ini. Perkembangan kemudian beralih kepada fasa ‘anal’ atau lubang najis dan ‘urethral’ atau lubang kencing.
Proses orientasi seksual berterusan sehingga dewasa dan ke peringkat lanjut usia. Tidak menghairankan jika penghayatan seks untuk individu berubah-ubah, daripada tiada penghayatan kepada ada penghayatan, remaja, dewasa tetapi menurun apabila usia semakin tua.
Bagi individu yang menjalani proses pengenalan diri atau seksualitinya, dia akan menikmati perasaan syahwat yang berubah-ubah mengikut mood dan emosinya.
Oleh itu, adalah biasa jika seseorang itu berasa tidak seronok dalam keadaan tertentu ketika berdampingan dengan pasangan, tetapi seronok yang tidak terhingga dalam keadaan berbeza.
Ia sama seperti penghayatan rangsangan syahwat yang juga berbeza ketika usia muda dan lebih dewasa, juga sebelum melahirkan anak serta selepas melahirkan anak.
Ada juga keadaan yang dapat meningkatkan keberahian atau mencetuskan syahwat seperti tempat, pakaian, bauan, objek serta keadaan tertentu.
Fenomena ini dikenali sebagai ‘fetishes’ atau ‘fetishesme’ yang juga boleh berubah-ubah dalam penghayatan rangsangan syahwat.
Sememangnya proses penghayatan syahwat berubah-ubah dan biasanya perubahan itu positif atau kepada yang lebih seronok. Namun, kadangkala ia negatif iaitu tidak menyeronokkan.
Jika ini berlaku, tentu ia mendatangkan masalah kepada pasangan dan perlu dipulihkan sama ada secara perbincangan bersama, dengan doktor atau pembimbing seks.
Penghayatan seks atau hubungan intim pada usia muda membabitkan individu yang masih ‘mentah’ itu belum tahu atau mengenali seksualitinya tidak akan berjalan lancar, kecuali selepas mula membuka minda, mempelajari, memahami dan menerokai hubungan yang terjalin.
Sentuhan dan belaian adalah sebahagian daripada hubungan intim. Jika selesa, pasangan perlu teruskan kepada tindakan lebih intim.
Kajian menunjukkan keseronokan syahwat dan keintiman seksual menyegarkan kesihatan pasangan, meningkatkan tahap kesihatan ke paras tinggi.
DOKTOR SAKIT TUAN bersama Dr.Ismail Thamby
TUNTUTAN BERJIMAK DALAM ISLAM
Hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan berumah tangga di atas harus dilakukan dan dipenuhi oleh masing-masing pihak guna mewujudkan keluarga yang tetap utuh dan harmonis. Dari penjelasan tentang hak dan kewajiban suami istri di atas jelas bahwa salah satu hak dan kewajiban suami istri sebagai konsekuensi dari ikatan pernikahannya adalah adanya pemenuhan nafkah lahir dan batin.
Salah satu cabang nafkah batin adalah memenuhi keperluan nafsu dengan istimta’ (hubungan suami istri). Kadarnya tidak ditetapkan secara jelas oleh Islam. Namun suami perlu menyadari bahwa antara perkara yang menjadi tanggung jawabnya ialah memenuhi keinginan nafsu istri, begitu juga pihak istri, hal itu menjadi kewajiban bagi kedua-duanya. Kegagalan memahami dan menyadari hak memenuhi hubungan kelamin antara suami istri menjadi salah satu sebab hilangnya keharmonisan dan menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga. Namun kadar dan kekerapannya terpulang kepada suami istri, ada yang merasa cukup 1 minggu sekali, sebulan 1 kali dan lain sebagainya.
PANDANGAN ISLAM DALAM PERMASALAHAN BERSETUBUH
Islam telah mensyariatkan hubungan seksual yang halal antara suami istri dan menjadikannya sebagai salah satu kebaikan dalam kehidupan di dunia dan menjadikan kenikmatan ini secara khusus bagi orang-orang mukmin yang shalih pada hari kiamat nanti. Allah berfirman : “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf…” (AQ S Al Baqarah 228).
Inilah keindahan syariat kita. Islam tidak pernah mengutamakan laki-laki atas waita dan sebaliknya. Semua memilki hak dan kewajiban secara seimbang. Aisyah meriwayatkan , “Dulu istri Utsman bin Mazh’un biasa memakai pewarna tangan dan memakai wewangian, kemudian ditinggalkannya (dia menjadi kusut masai) . Saya bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau?” Dia menjawab , “Utsman sudah tidak menghendaki dunia dan tidak menghendaki wanita lagi.’ Di dalam riwayat Thabrani dari Abu Musa al Asyari, “Kemudian Nabi saw menemui Utsman seraya berkata, “Wahai Utsman, mengapa engkau tidak meneladani aku? Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atas dirimu…” Sesudah itu mereka didatangi oleh istri Utsman dengan memakai kosmetika seperti pengantin, lalu para wanita berkata, “Lihatlah dai berkata, kami telah ditimpa sesuatu yang menimpa orang-orang.” (HR Ahmad )
Ibnul qoyyim menuliskan tentang manfaat jima’, yaitu ;
1. memelihara/ melestarikan keturunan
2. mengeluarkan sperma yang apabila ditahan dapat membahayakan tubuh
3. meredakan libido (nafsu syahwat), mendapatkan kelezatan dan bersenang-senang dengan kenikmatan ini, sebagaimana dapat dinikmati di surga nanti.
Para dokter mengatakan bahwa melakukan senggama merupakan salah satu cara untuk menjaga kesehatan. Apabila sperma lama tertahan di skortum, maka ia akan menimbulkan penyakit yang buruk, seperti was-was atau stress. Oleh sebab itu sperma yang tertahan biasanya dikeluarkan dengan mimpi basah.
Sebagian ulama salaf mengatakan ada tiga hal yang sebaiknya dilakukan secara rutin, yaitu : jangan meninggalkan berjalan kaki dalam kesehariannya sesuai kebutuhan, jangan meninggalkan makan, karena ususnya akan menyempit dan jangan meninggalkan senggama karena sumur itu bila tidak dikuras, airnya akan melimpah.
Muhammad bin zakaria berkata, “Barangsiapa meninggalkan jima’ dalam waktu lama, maka kekuatan sarafnya akan melemah, aliran-alirannya akan tersumbat dan zakarnya mengecil.” Hal ini berlaku pula untuk wanita.
Ibnu Hazm berkata “Lelaki diwajibkan mencampuri istrinya, minimal sekali dalam satu masa suci, jika ia mampu melakukannya. Kalau ia tidak mau melakukannya, berarti ia telah melanggar ketetapan Allah yaitu QS al Baqarah 222 “Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu…”
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Wajib bagi seorang suami menyampuri istrinya dengan cara yang patut, karena hal itu merupakan hak istri yang paling kuat terhadap suaminya, lebih besar daripada hak mendapatkan makan." Ada yang mengatakan senggama itu wajib (minimal) empat bulan sekali dan ada juga yang mengatakan sesuai dengan kebutuhan istri dan kemampuan suami.
Sedangkan menurut Larasati, nafkah batin
adalah nafkah yang menekankan pada hal-hal yang abstrak, tetapi sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia, seperti kasih sayang, perhatian dan
pengayoman, serta tentu saja pemenuhan kebutuhan biologis. Tidak kalah
pentingnya juga adalah pengajaran atau pendidikan istri.
Lebih rinci lagi, ada pendapat yang memberikan cakupan tentang nafkah batin meliputi beberapa hal. Diantara cakupan nafkah batin itu adalah:
a. Saling mendengarkan keluhan diantara kedua belah pihak (suami istri).
b. Saling menolong dalam menyelesaikan masalah
c. Saling menolong dalam meringankan beban
d. Saling menjadi tempat untuk bergantung, mencurahkan dan berbagi semua rasa.
e. Saling berbagi cinta, kasih sayang dan kemesraan antara kedua belah pihak
f. Memberikan pendidikan rohani dan mampu memberikan ketenangan jiwa.
Cakupan diatas merupakan kebutuhan-kebutuhan
yang berkaitan erat dengan kebutuhan psikis yang masing-masing dari
bagian itu menghendaki adanya pemenuhan.
Dasar Hukum Pemberian Nafkah Batin
Kebutuhan manusia
untuk memperluas dan mengkondisikan instink dan dorongan nafsu alami
merupakan kebutuhan yang pokok. Dari adanya penjelasan tentang hak dan
kewajiban suami istri di atas, sudah jelas bahwa nafkah batin merupakan
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh dan atas kedua belah pihak,
yang mana hal itu merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan
pokok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Islam juga telah mengatur
adanya nafkah yang tidak berbentuk materi (harta benda) tapi berbentuk
kasih sayang dan perhatian yang tulus dari pasangan suami istri.
Hal ini dijelaskan
dalam al-Qur’an, bahwa Allah menciptakan pria dan wanita untuk saling
mencintai dan menyayangi. Sebagaimana firmanNya dalam Surat ar-Ruum ayat
21 :
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”. (QS. ar-Ruum(30): 21).
Dalam ayat lain juga disebutkan:
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. an-Nisaa’(4): 1).
Dari ayat di atas,
dapat diketahui bahwa kekuasaan-Nya adalah menyatukan dua mahluk yang
berlainan jenis serta mempertautkan hati kedua-duanya dengan ikatan
kasih yang mesra agar keduanya merasakan ketenangan. Hal ini diibaratkan
seperti pakaian istri adalah pakaian suami dan sebaliknya pula pakaian
suami. Firman Allah dalam Surat al-Baqoroh ayat 187 :
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”. (QS. al-Baqoroh(2): 187).
“Pakaian” adalah
sesuatu yang diperlukan setiap masa. Pakaian juga berperan melindungi
manusia daripada bahaya kepanasan dan kesejukan, serta menutupi keaiban
atau sesuatu yang dipandang elok bila dipandang orang. Maka, dalam hal
ini suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab menyayangi dan
melindungi istrinya dari perkara berbahaya. Oleh sebab itu untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
sesuai ayat di atas, maka suami istri harus saling menciptakan
pergaulan yang baik, mendahulukan kepentingannya dan menahan diri dari
sikap yang kurang menyenangkan dari padanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS.
an-Nisaa’(4):19).
Menurut Ibnu Kasir,
ayat di atas mempunyai maksud suami istri wajib bercakap dengan tutur
kata yang elok dan senantiasa berkelakuan baik. Selain itu juga ada
pendapat yang mengatakan, bahwa yang dimaksud “pergaulan” pada ayat di
atas adalah hubungan seksual suami istri. Sehingga keduanya sama-sama
mendapatkan ketenangan dari pergaulannya tersebut. Hal ini karena dalam
rumah tangga, seseorang baik pria maupun wanita bisa menemukan
katalisator alamiah bagi hasrat seksualnya, dengan cara yang mampu
melindunginya dari kerusakan tubuh dan dera penyesalan, sekaligus mampu
memberikan porsi kenikmatan fisik yang cukup rasional bagi orang normal
yang berujung pada kepuasan dan kelegaan. Hal ini membuktikan bahwa
Islam paling mengetahui seluk-beluk manusia dan paling bijak dalam
menanganinya.
Mengenai pergaulan
yang baik antara suami istri ini juga telah diatur dalam Islam dengan
perintah agar suami mendatangi istrinya. Yaitu suami wajib mendatangi
(mengumpuli) istrinya sedikitnya satu kali dalam satu bulan jika ia
mampu. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Dan
apabila mereka (istri-istri) telah suci (dari haid), Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”.(QS.
al-Baqoroh(2): 222).
Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
“Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar
gembira orang-orang yang beriman”. (Qs. al-Baqoroh: 223).
Dalam ayat di
atas Allah memberikan perumpamaan yang menggambarkan suami dan istri
ibarat seorang petani dan sebidang tanah yang mana tanaman itu akan
subur bila selalu diberi air dan dirawat dengan baik, artinya
keharmonisan antara suami istri akan terjalin dengan baik apabila
kebutuhan batin antara suami dan istri terpenuhi.
Selain ayat di atas,
juga terdapat hadits yang menerangkan bahwa diantara tanda kesempurnaan
akhlak dan meningkatnya iman seseorang adalah kelembutan sikapnya
terhadap keluarganya. Sebagaimana hadits:
حد
ثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو حدثنا ابو سلمة عن ابى
هريرقا ل قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم
خلقا وخيا ركم خيا ركم لنسائهم خلقا (رواه الترمذى)
“Menceritakan
kepada kami Abu Kuraib, menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman
dari Muhammad bin ‘amr, menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abu
Hurairoh R.A berkata:
Rasulullah SAW berkata: orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara
kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya kepada istrinya”. (HR.
Tirmidzi)
Islam juga telah
mewajibkan agar suami menjaga dan memelihara istri dengan baik,
memelihara dari sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga
dirinya, menjunjung kemuliannya, menjauhkan dari pembicaraan yang tidak
baik, hal ini sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa “sebaik-baik
kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya)”. Hal ini
sebagaimana firman Allah :
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. at-Thalaaq(65): 6).
Dengan demikian jelas bahwa Islam benar-benar mengatur nafkah batin dengn sedemikian rupa agar semua pasangan suami istri mampu memenuhi segala kebutuhan, baik fisiologis maupun psikologisnya dengan cara yang dibenarkan agama.
Referensi:
-Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqii, Tafsir Ibnu Kasir: Juz 4 (Bandung: Sinar Baru Algensindo)
-Bimo Walgito. Bimbingan Dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta :Andi, 2004)
-Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996)
-Samsul Bahri. Mimbar Hukum: Nafkah Batin dan Kompensasi Materiilnya. Tt.
-Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994)
No comments:
Post a Comment